Gagasan Reformulasi Prapenuntutan dalam KUHAP untuk Peradilan Cepat dan Efisien.
lt678e1e0e2322d

Jember, 15 Mei 2025 Dalam sebuah seminar nasional bertema Pembaruan Hukum Acara Pidana yang diselenggarakan oleh mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya, isu reformulasi prapenuntutan dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menjadi sorotan utama. Salah satu narasumber dalam seminar tersebut mengusulkan gagasan pembaruan prapenuntutan guna mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

KUHAP yang telah berusia lebih dari 43 tahun, dinilai sudah saatnya mengalami perubahan. Meskipun telah diapresiasi sebagai karya bangsa yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, sistem prapenuntutan yang berlaku dinilai masih menyita waktu dan menyulitkan penegakan keadilan secara efisien.

Merujuk pada Pasal 14 huruf (b) KUHAP, prapenuntutan terjadi ketika penuntut umum mengembalikan berkas penyidikan kepada penyidik untuk dilengkapi. Proses ini kerap menimbulkan bolak-balik berkas antara penyidik dan penuntut umum yang menyita waktu dan memperlambat proses hukum.

“Prosedur ini bertolak belakang dengan amanat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menggariskan peradilan harus dilakukan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan,” ujar narasumber dalam presentasinya.

Lebih lanjut, ia juga mengkritisi ketidakjelasan waktu dalam proses prapenuntutan yang berdampak pada kepastian hukum. Dalam konteks ini, ia menyinggung Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) kepada penuntut umum, terlapor, dan korban paling lambat 7 hari. Namun ketentuan tersebut belum sepenuhnya terakomodasi dalam RUU KUHAP.

Sebagai solusi, ia menawarkan gagasan reformulasi prapenuntutan berbasis teknologi, seperti join investigation atau penyidikan bersama secara daring. Dalam model ini, penyidik dan penuntut umum tetap berada di tempat masing-masing namun berkoordinasi secara real-time menggunakan teknologi informasi. Penuntut umum dapat memberikan petunjuk langsung selama proses penyidikan tanpa perlu menunggu berkas bolak-balik.

“Ini model seperti yang diterapkan oleh Uni Eropa dan UNODC. Penuntut umum bisa langsung mendengar proses pemeriksaan dan menyampaikan petunjuk. Jika sudah lengkap, berkas tidak perlu bolak-balik. Ini hemat waktu dan lebih efisien,” paparnya.

Gagasan ini dinilai sebagai langkah progresif dalam menjawab tantangan sistem peradilan pidana Indonesia yang masih kerap terkendala oleh birokrasi dan keterlambatan prosedural. Meski masih berupa usulan, diharapkan reformulasi prapenuntutan ini dapat mendorong percepatan proses hukum tanpa mengabaikan keadilan substantif.