Jakarta, 7 Februari 2025 – Peristiwa berdarah yang melibatkan sesama anggota kepolisian kembali mencuat, kali ini dipicu oleh konflik kepentingan dalam aktivitas tambang ilegal. Kejadian tragis ini melibatkan AKP Dadang Iskandar, yang menembak komandannya sendiri, Kompol (Anumerta) Rianto Ulil, setelah korban mengamankan pelaku tambang ilegal di Solok Selatan, Sumatera Barat.
Peristiwa yang terjadi pada Jumat, 22 November 2024, ini mengundang perhatian luas, mengingat keterlibatan aparat dalam pembekingan tambang ilegal yang semakin meresahkan. Menurut laporan CNBC Indonesia pada 26 November 2024, tindakan Kompol Rianto dalam menindak praktik tambang ilegal diduga menjadi pemicu kemarahan AKP Dadang Iskandar, yang kemudian berujung pada aksi penembakan fatal tersebut.
Tambang ilegal di Indonesia memang menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Keberadaannya tidak hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa sumber daya alam harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, dalam praktiknya, kekayaan alam justru sering kali dieksploitasi oleh kelompok tertentu, termasuk oknum aparat yang seharusnya bertugas menjaga ketertiban dan hukum.
Sejumlah pengamat menilai bahwa peristiwa ini merupakan indikasi kuat adanya keterlibatan jaringan pembeking dalam praktik tambang ilegal. Menurut analisis dari podcast Ruang Akademika, pembekingan tambang ilegal tidak mungkin dilakukan secara individu, melainkan diduga melibatkan jaringan terorganisir. Dalam hal ini, AKP Dadang Iskandar diyakini bukan satu-satunya pihak yang terlibat, melainkan bagian dari kelompok yang lebih besar.
Selain merugikan negara dalam aspek ekonomi, kejadian ini juga menjadi pukulan bagi institusi Polri. Kehilangan dua perwira yang telah dibina menggunakan anggaran negara menjadi pengingat bahwa pengawasan terhadap integritas aparat harus diperketat. Tragedi ini juga menjadi refleksi akan mudahnya penggunaan senjata api dalam konflik internal kepolisian, yang menimbulkan ancaman serius bagi sesama anggota maupun masyarakat luas.
Menyikapi kasus ini, berbagai pihak mendesak agar pemerintah dan aparat penegak hukum bertindak tegas dalam memberantas tambang ilegal hingga ke akar-akarnya. Tidak hanya menindak para penambang ilegal, tetapi juga mengusut siapa saja yang terlibat dalam jaringan pembekingan. Tanpa langkah konkret, kasus serupa dikhawatirkan akan terus terulang dan merusak kredibilitas institusi penegak hukum di Indonesia.
Sebagai kesimpulan, peristiwa penembakan antaranggota kepolisian ini bukan sekadar kasus kriminal biasa, tetapi cerminan dari persoalan sistemik dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Evaluasi mendalam terhadap pembekingan tambang ilegal serta regulasi penggunaan senjata api bagi aparat menjadi langkah yang perlu segera diambil untuk mencegah insiden serupa di masa mendatang.